Pengunjung

Monday, December 20, 2010

Apa Makna Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk yang Paling Bengkok?


Pertanyaan:

Disebutkan dalam sebuah hadits, “Berbuat baiklah kepada wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, sedangkan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas,” dst. Mohon penjelasan makna hadits dan makna ‘tulang rusuk yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas’?


Jawaban:

Ini adalah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim di masing masing kitab Shahih mereka, dari Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam. Dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda,

“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” (HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)

Ini adalah perintah untuk para suami, para ayah, saudara saudara laki laki dan lainnya untuk menghendaki kebaikan untuk kaum wanita, berbuat baik terhadap mereka , tidak mendzalimi mereka dan senantiasa memberikan ha-hak mereka serta mengarahkan mereka kepada kebaikan. Ini yang diwajibkan atas semua orang berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam, “Berbuat baiklah kepada wanita.”

Hal ini jangan sampai terhalangi oleh perilaku mereka yang adakalanya bersikap buruk terhadap suaminya dan kerabatnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan karena para wanita itu diciptakan dari tulang rusuk, sebagaimana dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam bahwa tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang paling atas itu adalah yang setelah pangkal rusuk, itulah tulang rusuk yang paling bengkok, itu jelas. Maknanya, pasti dalam kenyataannya ada kebengkokkan dan kekurangan. Karena itulah disebutkan dalam hadits lain dalam ash-Shahihain.

“Aku tidak melihat orang orang yang kurang akal dan kurang agama yang lebih bias menghilangkan akal laki laki yang teguh daripada salah seorang diantara kalian (para wanita).” (HR. Al Bukhari no 304 dan Muslim no. 80)

Hadits Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam yang disebutkan dalam ash shahihain dari hadits Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu. Makna “kurang akal” dalam sabda Nabi shalallahu ‘alayhi wasallam adalah bahwa persaksian dua wanita sebanding dengan persaksian seorang laki laki. Sedangkan makna “kurang agama” dalam sabda beliau adalah bahwa wanita itu kadang selama beberapa hari dan beberapa malam tidak shalat, yaitu ketika sedang haidh dan nifas. Kekurangan ini merupakan ketetapan Allah pada kaum wanita sehingga wanita tidak berdosa dalam hal ini.

Maka hendaknya wanita mengakui hal ini sesuai dengan petunjuk nabi shalallahu ‘alayhi wasallam walaupun ia berilmu dan bertaqwa, karena nabi shalallahu ‘alayhi wasallam tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, tapi berdasar wahyu yang Allah berikan kepadanya, lalu beliau sampaikan kepada ummatnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. An-Najm:4)

Sumber:
Majmu Fatawa wa Maqadat Mutanawwi’ah juz 5 hall 300-301, Syaikh Ibn Baaz Fatwa fatwa Terkini Jilid 1 Bab Perlakuan Terhadap Istri penerbit Darul Haq

***
Artikel muslimah.or.id

Su’airah; Wanita Penghuni Surga


Su’airah al-Asadiyyah atau yang dikenal dengan Ummu Zufar radhiyallohu’anha. Walau para ahli sejarah tak menulis perjalanan kehidupannya secara rinci, karena hampir semua kitab-kitab sejarah hanya mencantumkan sebuah hadits dalam biografinya, namun dengan keterangan yang sedikit itu kita dapat memetik banyak faedah, pelajaran, serta teladan yang agung dari wanita shalihah ini.

Su’airah al-Asadiyyah berasal dari Habsyah atau yang dikenal sekarang ini dengan Ethiopia. Seorang wanita yang berkulit hitam, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan penuh ketulusan. Ia adalah perumpamaan cahaya dan bukti nyata dalam kesabaran, keyakinan dan keridhaan terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah, Rabb Pencipta Alam semesta ini. Dia adalah wanita yang datang dan berbicara langsung dengan pemimpin orang-orang yang ditimpa musibah dan imam bagi orang-orang yang sabar, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Dialog mereka berdua telah dimaktub dan dinukilkan di dalam kitab sunnah yang mulia. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Abi Rabah ia berkata, Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Inginkah engkau aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku pun menjawab, “Tentu saja.”

Ia berkata, ”Wanita berkulit hitam ini (orangnya). Ia telah datang menemui Nabi shallallahu’alaihi wasallam lalu berkata:

“Sesungguhnya aku berpenyakit ayan (epilepsi), yang bila kambuh maka tanpa disadari auratku terbuka. Do’akanlah supaya aku sembuh.” Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Jika engkau kuat bersabar, engkau akan memperoleh surga. Namun jika engkau ingin, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”

Maka ia berkata:”Aku akan bersabar.” Kemudian ia berkata:”Sesungguhnya aku (bila kambuh maka tanpa disadari auratku) terbuka, maka mintakanlah kepada Allah supaya auratku tidak terbuka.” Maka Beliau shallallahu ’alaihi wasallam pun mendo’akannya. (HR Al-Bukhari 5652)

Perhatikanlah … betapa tingginya keimanan wanita ini. Ia berusaha menjaga hak-hak Allah dalam dirinya. Tak lupa pula mempelajari ilmu agama-Nya. Meski ditimpa penyakit, ia tidak putus asa akan rahmat Allah dan bersabar terhadap musibah yang menimpanya. Sebab ia mengetahui itu adalah sesuatu yang diwajibkan oleh Allah. Bahwasanya tak ada suatu musibah apapun yang diberikan kepada seorang mukmin yang sabar kecuali akan menjadi timbangan kebaikan baginya pada hari kiamat nanti.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberi pahala tanpa batas.” (QS Az-Zumar :10)

Di dalam musibah atau cobaan yang diberikan Allah kepada manusia terkandung hikmah yang agung, yang dengannya Allah ingin membersihkan hambanya dari dosa. Dengan keyakinan itulah Su’airah lebih mengutamakan akhirat daripada dunia, kerana apa yang ada disisi Allah lebih baik dan kekal. Dan Ketika diberikan pilihan kepadanya antara surga dan kesembuhan, maka ia lebih memilih surga yang abadi. Akan tetapi di samping itu, ia meminta kepada Rasululloh shallallahu ’alaihi wasallam untuk mendoakan agar auratnya tidak terbuka bila penyakitnya kambuh, karena ia adalah waniya yang telah terdidik dalam madrasah ‘iffah (penjagaan diri) dan kesucian, hasil didikan Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, dan menjaga hak Allah yang telah memerintahkan wanita muslimah untuk menjaga kehormatan dirinya dengan menutup aurat. Allah subhanahu wa ta’alla berfirman:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.” (Qs An-Nur: 31)

Su’airah telah memberikan pelajaran penting bagi para wanita yang membuka auratnya, bahwa hendaknya mereka bersyukur kepada Allah ta’alla atas nikmat kesehatan yang telah dilimpahkan kepada mereka. Berpegang dengan hijab yang syar’i adalah jalan satu-satunya untuk menuju kemuliaan dan kemenangan hakiki, karena ia adalah mahkota kehormatannya. Dalam permintaannya, Su’airah hanya meminta agar penyakit yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu tidak menjadi sebab terbukanya auratnya, padahal dalam keadaan itu pena telah diangkat darinya! Akan tetapi, ia tetap berpegang dengan hijab dan rasa malunya!

Betapa jauhnya perbandingan antara wanita yang pemalu dan penyabar ini dengan mereka yang telanjang yang tampil dilayar-layar kaca dan terpampang di koran dan majalah-majalah. Tak perlu kita mengambil contoh terlalu jauh sampai ke negara-negara barat sana. Cukuplah kita perhatikan di negara kita tercinta ini saja, banyak kita temukan wanita-wanita telanjang berlalu lalang dengan santainya di setiap lorong dan sudut kota, bahkan di kampung-kampung tanpa rasa malu sedikitpun. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam telah sebutkan perihal mereka ini dengan sabdanya:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“ Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihat mereka: satu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor sapi dimana mereka memecut manusia dengannya, dan kaum wanita yang berpakaian akan tetapi telanjang, genit dan menggoda, (rambut) kepala mereka seperti punuk onta yang miring. Sungguh mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak akan mendapati baunya, padahal bau surga bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian (jauhnya).” (HR Muslim 5704)

Mereka tak ubahnya seperti binatang yang kemana-mana tak berpakaian karena mereka memang tidak berakal! Keluarnya mereka telah merusak pandangan orang-orang yang berakal. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda tentang mereka:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان

“Seorang wanita itu (seluruhnya) aurat. Apabila ia keluar (rumah) maka setan akan membuat mereka nampak indah di hadapan orang-orang yang memandanginya.” (HR Tirmidzi 1206, dishahihkan al-Albani dalam Shahihul Jami’ no 6690)

Dan sungguh semua itu bertolak belakang dengan fitrah manusia. Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)

“ Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Dan mereka memiliki telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Qs Al A’raf :179)

Demikianlah sosok Su’airah al-Asadiyyah radhiyallahu’anha, wanita yang dipuji Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam akan kesabaran dan ‘iffah (penjagaan diri)nya. Semoga pelajaran agung yang telah diwariskannya dapat menjadi acuan bagi wanita muslimah menuju keridhaan Allah subhanahu wa ta’alla, dan menjadikan kita penghuni surga sebagaimana Su’airah, Aamiin.

***

Artikel Muslimah.or.id
Dikutip dari majalah Mawaddah Edisi 7 tahun ke-3

Wednesday, August 4, 2010

Buat Gadis Kesayanganku


Gadisku…
Sesungguhnya kejadianmu terlalu unik, tercipta daripada tulang rusuk Adam yang bengkok menghiasi taman-taman indah lantas menjadi perhatian sang kumbang. Kau umpama sekuntum bunga, harum aromamu bisa menarik perhatian sang kumbang untuk mendekatimu. Namun…tidak semua bunga senang untuk didekati oleh sang kumbang lantaran duri yang memagari diri, umpama mawar merah, dari kejauhan sudah terhidu akan keharumannya serta panahan warnanya yang terserlah indah mengundang kekaguman kepada sang kumbang..tapi awas..duri yang melingkari dirinya bisa membuatkan sang kumbang berfikir beberapa kali sebelum mendekatinya.


Gadisku…
Aku suka sekirannya kau seperti mawar aspirasi setiap mujahadah. Bentengilah kubu dirimu dengan perasaan malu yang bertunjangkan rasa keimanan dan keindahan taqwa kepada Allah. Hiasilah wajahmu dengan titisan wudhuk. Ingatlah bahawa cirri-ciri seorang wanita solehah ialah dia tidak melihat kepada lelaki dan lelaki tidak melihat kepadanya. Sesuatu yang tertutup itu lebih berharga jika dibandingkan dengan sesuatu yang terdedah…umpama sebutir permata yang didedahkan untuk perhatian umum dengan permata yang diletakkan dalam satu bekas yang tertutup…sudah pasti keinginan diri kuat untuk melihat permata yang tersembunyi rapi tentulah melebihi daripada yang terdedah. Wanita solehah yang taat dan patuh kepada Al-Khaliq dalam melayari liku-liku kehidupannya adalah harapan setiap insan yang bernama Adam. Namun, segalanya memerlukan pengorbanan dan mujahadah yang tinggi kerana bertentangan dengan nafsu serakah yang bersarang di dalam dirimu lebih-lebih lagi ‘title’ gadis yang engkau miliki, sudah pastinya darah mudamu mencabar rasa keimanan yang ada. Namun ingatlah gadisku, sesiapa yang inginkan kebaikan maka Allah pasti akan memudahkan baginya jalan-jalan kearah itu. Yang paling penting gadisku engkau mestilah mempunyai azam, usaha dan istiqamah.

Gadisku…
Akuilah dirimu menjadi fitnah kepada kebanyakan lelaki. Seandainya pakaian malumu kau tanggal dari tubuhmu maka sudah tidak ada lagi perisai yang dapat membentengimu. Sesungguhnya Nabi S.A.W ada mengatakan tentang bahaya dirimu “Tidak ada suatu fitnah yang lebih besar yang lebih bermaharajalela selepas wafatku terhadap kaum lelaki selain fitnah yang berpunca daripada wanita”. Oleh itu gadisku, setiap langkah dan tindakanmu hendaklah berpaksikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan biarkan orang lain mengeksploitasi dirimu untuk kepentingan tertentu. Sesungguhnya Allah telah mengangkat martabatmu sebaris dengan kaum Adam, kau harapan ummah dalam melahirkan para mujahid dan mujahidah yang bisa menggoncangkan dunia dengan sentuhan lembut tanganmu.



Gadisku…
Dalam hidupmu engkau pastinya ingin disayangi dan menyayangi, itulah fitrah semulajadi setiap insan, namun ramai antara kaummu yang tewas kerana cinta. Bercinta itu tidak salah, tetapi memuja cinta itu yang salah. Ini kerana disebabkan cinta manusia sanggup menjual agama dan kerana cinta juga maruah tergadai. Gejala murtad serta keruntuhan moral muda-mudi sebahagian besarnya kerana cinta. Benarlah sabda Rasullullah S.A.W yang membawa maksud “Sesungguhnya cinta itu buta”. Cinta itu mampu membutakan mata dan hatimu dalam membezakan perkara yang hak dan batil jika engkau meletakkan cinta itu atas dasar nafsu dan bukan kerana Allah S.W.T. Sebelum engkau mendekati cinta, cintailah dirimu terlebih dahulu, mengkaji hakikat kejadianmu yang begitu simbolik, yang berasal daripada setitis air yang tidak beharga lalu mengalami proses pembentukan yang direncanakan oleh Allah S.W.T. Semoga itu mampu melahirkan rasa keagungan dan kehebatan terhadap Allah dan timbul rasa cinta dan kasih kepada Penciptamu.

Gadisku…
Menyintai Allah dan Rasul melebihi cinta terhadap makhluk adalah cinta hakiki dan abadi kerana hati yang pecah dan retak apabila diberikan kepada makhluk pastinya akan bertambah retak dan terburai. Tetapi, apabila hatimu diserah kepada Allah sudah pasti akan bertaut kembali. Dalam usia mudamu, sibukkanlah diri dengan ilmu yang mampu menajamkan akal dan mampu membina sahsiah muslimahmu. Sesungguhnya ilmu itu cahaya dan tidak mampu bertapak dalam hati orang yang melakukan maksiat.

Akhir kalam, terimalah kata-kata seorang ahli sufi iaitu Rabiatul Adawiyah sebagai renungan bersama. “Cintakan manusia itu tidak mewujudkan kabahagian yang hakiki untuk seorang insan dan ia tidak kekal abadi kerana manusia itu sering membuatkan seseorang kecewa, gagal, merasa terseksa. Oleh itu, tiada suatu cinta pun yang dapat membuahkan kebahagian dan kenikmatan yang kekal abadi kecuali cinta kepada pencipta manusia itu sendiri…”


8 Hal Yang Perlu di Perhatikan Muslimah


kebanyakan saudari muslimah secara tidak sadar atau karena belum tahu hukumnya dalam islam, melakukan hal-hal yang tidak sesuai syariat islam. Hal-hal yang dilarang keras bahkan pelakunya diancam siksaan yang pedih. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan dan peringatan serta balasan atas perbuatan yang dilakukan.

1. Kewajiban memakai Jilbab
Masih saja ada yang menanyakan(menyangsikan) kewajiban berjilbab. Padahal dasar hukumnya sudah jelas yaitu:
o Surat Al-Ahzab ayat 59 (33:59)

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan hijab keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebihi mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
o Surat An-Nuur: ayat 31 (24:31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanny, kecuali yang biasa tampak padanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putri mereka atau putra-putri suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau buda-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang beriman supaya kamu beruntung ”

“(Ini adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”. (An-Nuur:1)

Ayat pertama Surat An-Nuur yang mendahului ayat-ayat yang lain. Yang berarti hukum-hukum yang berada di surat itu wajib hukumnya.
o Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya:
“Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”
o Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
o Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya :
“Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
o Juga berdasarkan sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam:
“Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah kaum muslimin dan mendurhakai imamnya (penguasa) serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

Masihkah menyangsikan kewajiban mamakai Jilbab?
2. Menggunjing, Gosip = Ghibah
Maaf saudari muslimah, ini juga sangat2 sering dilakukan tanpa sadar. Begitu saja terjadi dan tiak terasa bahwa itu salah satu dosa, karena begitu biasanya. Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah berikut ini:

“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahwa definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah berfirman:

” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
3. Menjaga Suara
Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan:

“Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36).
Sebagai muslimah harus menjaga suara saat berbicara dalam batas kewajaran bukan sengaja dibikin mendesah-desah, mendayu-dayu, merayu, dan semisalnya. Wallahu a’lam
4. Mencukur alis mata
Abdullah bin Mas'ud RadhiyAllohu 'anhu, dia berkata :

"Alloh Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang mencukur alisnya dan wanita yang minta dicukurkan alisnya, wanita yang minta direnggangkan giginya untuk mempercantik diri, yang mereka semua merubah ciptaan Alloh".

Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik- baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.
5. Memakai Wangi-wangian
Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:

“Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).

Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam:

“Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah).

Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata :

Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ? Ia menjawab : Ya. Abu Hurairah kemudian berkata : Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : “Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133).

Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata :

“Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).

Syaikh Albani mengatakan: Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Berkata Al-Haitsami dalam AZ-Zawajir II/37

“Bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan”.

6. Memakai Pakaian transparan dan membentuk tubuh/ketat

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda :

“Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” (At-Thabrani Al-Mujamusshaghir : 232).


Di dalam hadits lain terdapat tambahan yaitu :
“Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (HR.Muslim).


Ibnu Abdil Barr berkata :
“Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dans tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” ( Tanwirul Hawalik III/103).


Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata :

“Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !. Seseorang kemudian bertanya : Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !. Maka Umar menjawab : Sekalipun tidak tipis,namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” (H.R. Al-Baihaqi II/234-235).


Usamah bin Zaid pernah berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku: “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab : Aku pakaikan baju itu pada istriku. Nabi lalu bersabda :

“Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi : Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).


Aisyah pernah berkata:
” Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya (Ibnu Sad VIII/71).


Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya :
Baju, khimar dan milhafah (mantel)” (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).


7. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Laki-laki

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata:

“Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).


Dari Abdullah bin Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200)

Dari Ibnu Abbas yang berkata: Nabi shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda :
“Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.”


Dalam lafadz lain :
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274).

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam bersabda:
“Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).

Dalam hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

8. Memakai Pakaian menyerupai pakaian Wanita Kafir

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya :

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik(Al-Hadid:16).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang artinya:
“Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha... hal. 43).

Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. Allah berfirman : Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-baqarah:104).

Lebih lanjut Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek.

Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.

Sumber:

1. mediamuslim.info
2. vbaitullah.com

Wednesday, July 7, 2010

Beberapa Wanita Yang Mendapat Pujian Allah


MediaMuslim.Info – Sejarah kaum muslim telah mencatat terdapat beberapa nama wanita terpandang yang di antara mereka ada yang dimuliakan Allah Ta’ala dengan surga, dan di antara mereka ada pula yang dihinakan Allah Ta’ala dengan neraka. Pada kesempatan kali ini, marilah kita mencoba menambah pengetahuan kita dengan mengenal figur beberapa wanita yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa menjadi pelajaran bagi kita.Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seutama-utama wanita ahli surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim.” (HR. Ahmad)

Khadijah binti Khuwailid rodhiyallahu anha

Dia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat sehingga mendapat tempaan akhlak yang mulia, sifat yang tegas, penalaran yang tinggi, dan mampu menghindari hal-hal yang tidak terpuji sehingga kaumnya pada masa jahiliyah menyebutnya dengan ath thahirah (wanita yang suci). Dia merupakan orang pertama yang menyambut seruan iman yang dibawa Muhammad tanpa banyak membantah dan berdebat, bahkan ia tetap membenarkan, menghibur, dan membela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat semua orang mendustakan dan mengucilkan beliau. Khadijah telah mengorbankan seluruh hidupnya, jiwa dan hartanya untuk kepentingan dakwah di jalan Allah. Ia rela melepaskan kedudukannya yang terhormat di kalangan bangsanya dan ikut merasakan embargo yang dikenakan pada keluarganya.

Pribadinya yang tenang membuatnya tidak tergesa-gesa dalam meng-ambil keputusan mengikuti kebanyakan pendapat penduduk negerinya yang menganggap Muhammad sebagai orang yang telah merusak tatanan dan tradisi luhur bangsanya. Karena keteguhan hati dan keistiqomahannya dalam beriman inilah Allah berkenan menitip salamNya lewat Jibril untuk Khadijah dan menyiapkan sebuah rumah baginya di surga. Tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu, ia berkata: “Jibril datang kepada Nabi kemudian berkata: Wahai Rasulullah, ini Khadijah datang membawa bejana berisi lauk pauk, makanan dan minuman. Maka jika ia telah tiba, sampaikan salam untuknya dari Rabbnya dan dari aku, dan sampaikan kabar gembira untuknya dengan sebuah rumah dari mutiara di surga, tidak ada keributan di dalamnya dan tidak pula ada kepayahan.” (HR. Al-Bukhari).

Besarnya keimanan Khadijah rodhiyallahu anha pada risalah nubuwah, dan kemuliaan akhlaknya sangat membekas di hati Rasulullah sehingga beliau selalu menyebut-nyebut kebaikannya walaupun Khadijah telah wafat. Diriwayatkan dari Aisyah rodhiyallahu anha, beliau berkata: “Rasulullah hampir tidak pernah keluar dari rumah sehingga beliau menyebut-nyebut kebaikan tentang Khadijah dan memuji-mujinya setiap hari sehingga aku menjadi cemburu maka aku berkata: Bukankah ia seorang wanita tua yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untuk engkau? Maka beliau marah sampai berkerut dahinya kemudian bersabda: Tidak! Demi Allah, Allah tidak memberiku ganti yang lebih baik darinya. Sungguh ia telah beriman di saat manusia mendustakanku, dan menolongku dengan harta di saat manusia menjauhiku, dan dengannya Allah mengaruniakan anak padaku dan tidak dengan wanita (istri) yang lain. Aisyah berkata: Maka aku berjanji untuk tidak menjelek-jelekkannya selama-lamanya.”

Fatimah rodhiyallahu anha

Dia adalah belahan jiwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, putri wanita terpandang dan mantap agamanya, istri dari laki-laki ahli surga yaitu Ali bin Abi Thalib. Dalam shahih Muslim menurut syarah An Nawawi Nabi bersabda: “Fathimah merupakan belahan diriku. Siapa yang menyakitinya, berarti menyakitiku.”

Dia rela hidup dalam kefakiran untuk mengecap manisnya iman bersama ayah dan suami tercinta. Dia korbankan segala apa yang dia miliki demi membantu menegakkan agama suami. Fathimah rodhiyallahu anha adalah wanita yang penyabar, taat beragama, baik perangainya, cepat puas dan suka bersyukur.

Maryam binti Imran rodhiyallahu anha

Beliau merupakan figur wanita yang menjaga kehormatan dirinya dan taat beribadah kepada Rabbnya. Beliau rela mengorbankan masa remajanya untuk bermunajat mendekatkan diri pada Allah, sehingga Dia memberinya hadiah istimewa berupa kelahiran seorang Nabi dari rahimnya tanpa bapak. Dan Allah berfirman, yang artinya: “Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitabNya; dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat” (QS. At-Tahrim: 12)

Asiyah binti Muzahim rodhiyallahu anha

Beliau adalah istri dari seorang penguasa yang lalim yaitu Fir’aun laknatullah ‘alaih. Akibat dari keimanan Asiyah kepada kerasulan Musa, ia harus rela menerima siksaan pedih dari suaminya. Betapapun besar kecintaan dan kepatuhannya pada suami ternyata di hatinya masih tersedia tempat tertinggi yang ia isi dengan cinta pada Allah dan RasulNya. Surga menjadi tujuan akhirnya sehingga kesulitan dan kepedihan yang ia rasakan di dunia sebagai akibat meninggalkan kemewahan hidup, budaya dan tradisi leluhur yang menyelisihi syariat Allah ia telan begitu saja bak pil kina demi kesenangan abadi. Akhirnya Asiyah meninggal dalam keadaan tersenyum dalam siksaan pengikut Fir’aun.

Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata: “Fir’aun memukulkan kedua tangan dan kakinya (Asiyah) dalam keadaan terikat. Maka ketika mereka (Fir’aun dan pengikutnya) meninggalkan Asiyah, malaikat menaunginya lalu ia berkata: Ya Rabb bangunkan sebuah rumah bagiku di sisimu dalam surga. Maka Allah perlihatkan rumah yang telah disediakan untuknya di surga sebelum meninggal.”

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbi, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkan aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang dhalim” (QS. At-Tahrim: 11)

(Sumber Rujukan: Ahkamun Nisa’, Ibnul Jauzi. Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Atsqalani. Tuhfatul Ahwadzi, Al Mubarakfuri.)

Hukum-hukum yang berkenaan dengan Istihadlah

Istihadlah adalah darah yang keluar (dari rahim wanita) bukan pada waktunya dari urat yang disebut adzil. Wanita yang istihadlah masalahnya memang agak rumit, karena darah haid menyerupai darah istihadlah ini. Jika darah yang keluar dari wanita itu terus menerus atau melampaui waktunya, dan ia ragu apakah darah itu darah haid atau istihadlah, maka ia tidak boleh meninggalkan shaum dan sholat, karena hukum yang berlaku bagi wanita istihadlah adalah hukum wanita-wanita suci

Kondisi-Kondisi Wanita Ketika Istihadlah

Dengan demikian wanita yang sedang istihadlah memiliki tiga kondisi, yaitu:

1. Wanita itu mengetahui kebiasaan tertentu sebelum datangnya istihadlah, bahwa sebelumnya ia haid lima atau delapan hari, misalnya ia haid di awal atau di tengah bulan, sedang ia mengerti akan jumlah dan waktunya, maka hal itu menuntut wanita itu untuk berdiam diri selama kebiasaan haidnya, ia hendaklah meninggalkan sholat dan shaum, karena baginya berlaku hukum-hukum haid. Akan tetapi jika kebiasaan itu habis, maka hendaklah ia segera mandi dan sholat. Adapun darah yang masih tersisa adalah darah istihadlah, karena Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada Ummu Habibah, yang artinya: “Berdiam dirilah kamu selama haid, kemudian setelah itu mandi dan sholatlah.” (HR: Muslim). Dan sabda beliau kepada Fatimah binti Abu Hubais, yang artinya: “Sesungguhnya hal itu adalah keringat, bukan haid, maka jika datang haid kepadamu, tinggalkanlah sholat..” (HR: Bukhari dan Muslim).
2. Jika wanita itu tidak mempunyai kebiasaan tertentu, tetapi darahnya bisa dibedakan, dimana sebagian darahnya terdapat ciri-ciri darah haid, yaitu seperti darah yang berwarna hitam, kental atau berbau dan sisanya terdapat ciri-ciri darah istihadlah, yaitu berwarna merah, tidak berbau dan tidak kental, maka kondisi seperti ini yaitu darah yang mempunyai ciri-ciri darah haid, berarti wanita itu haid, dan ia hendaklah berdiam diri meninggalkan sholat dan shaum. Adapun darah yang selebihnya adalah darah istihadlah, dimana wanita itu harus mandi ketika darah yang terdapat ciri-ciri haid itu telah habis kemudian sholat dan shaum dan ia dianggap telah suci. Hal ini berdasarkan sabda Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang artinya: “Jika darah itu haid, maka ia berwarna hitam yang telah dikenal, maka tinggalkanlah sholat, tetapi jika berwarna lain, maka hendaklah ia berwudlu dan sholat.” (HR: Abu Dawud dan An-Nasa’I, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim). Jadi dalam hal ini bahwa wanita yang sedang istihadlah, hendaklah ia melihat darah, sehingga dengan itu ia dapat membedakan antara darah haid dan lainnya.
3. Jika wanita itu tidak memiliki kebiasaan tertentu dan tidak ada ciri yang membedakan antara darah haid dan darah lainnya, maka hendaklah ia berdiam diri pada masa-masa umumnya haid, yaitu selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya, karena masa ini adalah kebiasaan haid bagi rata-rata kaum wanita. Berdasarkan sabda Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam kepada Hammah binti Jahsyi, yang artinya: “Sesungguhnya itu hanya goyangan dari syetan, hendaklah seorang wanita menjalani haidnya selama enam atau tujuh hari, lalu mandilah. Dan apabila telah suci, sholatlah 24 atau 23 hari. Sholat dan berpuasalah, karena hal itulah telah cukup atasmu. Dan begitu juga berbuatlah sebagaimana yang diperbuat oleh wanita haid.” (HR: Lima Periwayat Hadits, dan dishahihkan oleh Imam Tirmidzi).

Alhasil dari keterangan di awal adalah bahwa kebiasaan tertentu bagi wanita adalah kembali pada kebiasaan haidnya dan perbedaan tertentu bagi wanita kembali kepada perbuatan yang berbeda pula. Maka wanita yang terbebas dua kondisi di atas berarti dia harus menjalani haid selama enam atau tujuh hari. Dengan demikian ketiga hadits dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Mustahadlah di awal dapat dipahami (dikumpulkan).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata, “Tanda – tanda haid dikatakan ada 6 yaitu:

* Kebiasaan, karena kebiasaan merupakan tanda yang paling kuat dan karena asal kedudukan darah haid itu tanpa darah yang lain.
* Perbedaan antara darah hitam dan kental serta berbau lebih nyata menunjukkan haid daripada darah yang berwarna merah.
* Melihat mayoritas kebiasaan wanita, karena asal suatu keputusan bagi seseorang berdasarkan keumuman yang mayoritas.

Ketiga tanda ini telah ditunjukkan dalam hadits dan kenyataan. Kemudian beliau menyebutkan tanda-tanda yang lain dan berkata pada akhirnya, “Pendapat yang paling kuat adalah dengan mengambil pendapat yang telah ditunjukkan oleh sunnah dan menolak selain itu.”

Hal-Hal yang Harus Dilakukan oleh Wanita yang sedang Istihadlah dalam Kondisi Ia Berstatus Suci:

* Ia wajib mandi setelah darahnya yang dianggap darah haid itu habis sebagaimana telah dijelaskan di awal (pada pembahasan haid).
* Membasuh farji (vagina)-nya untuk membersihkan darah yang keluar setiap kali akan mendirikan sholat. Dan hendaklah ia menyelipkan kapas atau lainnya pada vaginanya untuk menahan darah yang akan keluar sehingga serta membalutnya kapas tersebut agar tidak jatuh, kemudian berwudlu’ setiap kali masuk waktu sholat, karena adanya sabda Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang wanita yang istihadlah ini, yang artinya: “Hendaklah ia meninggalkan sholat pada hari-hari haidnya, kemudian setelah itu hendaklah ia mandi, dan berwudlu’ setiap kali hendak sholat.” (HR: Abu Dawud, Ibnu Majah dan Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan).

(Sumber Rujukan: Kitab Tanbiihat ‘ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu’minat, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)

Bidadari yang Cantik Jelita


Mereka sangat cangat cantik, memiliki suara-suara yang indah dan berakhlaq yang mulia. Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan siapapun yang membicarakan diri mereka pasti akan digelitik kerinduan kepada mereka, seakan-akan dia sudah melihat secara langsung bidadari-bidadari itu. Siapapun ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka dan ingin hidup bersama mereka.

Semuanya itu adalah anugrah dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan sifat-sifat terindah kepada mereka, yaitu bidadari-bidadari surga. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati wanita-wanita penghuni surga sebagai kawa’ib, jama’ dari ka’ib yang artinya gadis-gadis remaja. Yang memiliki bentuk tubuh yang merupakan bentuk wanita yang paling indah dan pas untuk gadis-gadis remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari, karena kulit mereka yang indah dan putih bersih. Aisyah RadhiAllohu anha pernah berkata: “warna putih adalah separoh keindahan”

Bangsa Arab biasa menyanjung wanita dengan warna puith. Seorang penyair berkata:

Kulitnya putih bersih gairahnya tiada diragukan
laksana kijang Makkah yang tidak boleh dijadikan buruan
dia menjadi perhatian karena perkataannya lembut
Islam menghalanginya untuk mengucapkan perkataan jahat

Al-’In jama’ dari aina’, artinya wanita yang matanya lebar, yang berwarna hitam sangat hitam, dan yang berwarna puith sangat putih, bulu matanya panjang dan hitam. Alloh Subhanahu wa Ta’ala mensifati mereka sebagai bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik, yaitu wanita yang menghimpun semua pesona lahir dan batin. Ciptaan dan akhlaknya sempurna, akhlaknya baik dan wajahnya cantk menawan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang suci. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” (QS: Al-Baqarah: 25)

Makna dari Firman diatas adalah mereka suci, tidak pernah haid, tidak buang air kecil dan besar serta tidak kentut. Mereka tidak diusik dengan urusan-urusan wanita yang menggangu seperti yang terjadi di dunia. Batin mereka juga suci, tidak cemburu, tidak menyakiti dan tidak jahat. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang dipingit di dalam rumah. Artinya mereka hanya berhias dan bersolek untuk suaminya. Bahkan mereka tidak pernah keluar dari rumah suaminya, tidak melayani kecuali suaminya. Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga mensifati mereka sebagai wanita-wanita yang tidak liar pandangannya. Sifat ini lebih sempurna lagi. Oleh karena itu bidadari yang seperti ini diperuntukkan bagi para penghuni dua surga yang tertinggi. Diantara wanita memang ada yang tidak mau memandang suaminya dengan pandangan yang liar, karena cinta dan keridhaanyya, dan dia juga tidak mau memamndang kepada laki-laki selain suaminya, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair: Ku tak mau pandanganmu liar ke sekitar jika kau ingin cinta kita selalu mekar.

Di samping keadaan mereka yang dipingit di dalam rumah dan tidak liar pandangannnya, mereka juga merupakan wanita-wanita gadis, bergairah penuh cinta dan sebaya umurnya. Aisyah RadhiAllohu anha, pernah bertanya kepad Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, yang artinya: “Wahai Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam, andaikata engkau melewati rerumputan yang pernah dijadikan tempat menggembala dan rerumputan yang belum pernah dijadikan tempat menggambala, maka dimanakah engkau menempatkan onta gembalamu?” Beliau menjawab,”Di tempat yang belum dijadikan tempat gembalaan.” (Ditakhrij Muslim) Dengan kata lain, beliau tidak pernah menikahi perawan selain dari Aisyah.

Rasululloh Shallallahu’alaihi wasallam bertanya kepada Jabir yang menikahi seorang janda, yang artinya: “Mengapa tidak engkau nikahi wanita gadis agar engkau bisa mencandainya dan ia pun mencandaimu?” (Diriwayatkan Asy-Syaikhany)

Sifat bidadari penghuni surga yang lain adalah Al-’Urub, jama’ dari al-arub, artinya mencerminkan rupa yang lemah lembut, sikap yang luwes, perlakuan yang baik terhadap suami dan penuh cinta. Ucapan, tingkah laku dan gerak-geriknya serba halus.

Al-Bukhary berkata di dalam Shahihnya, “Al-’Urub, jama’ dari tirbin. Jika dikatakan, Fulan tirbiyyun”, artinya Fulan berumur sebaya dengan orang yang dimaksudkan. Jadi mereka itu sebaya umurnya, sama-sama masih muda, tidak terlalu muda dan tidak pula tua. Usia mereka adalah usia remaja. Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan mereka dengan mutiara yang terpendam, dengan telur yang terjaga, seperti Yaqut dan Marjan. Mutiara diambil kebeningan, kecemerlangan dan kehalusan sentuhannya. Putih telor yang tersembunyi adalah sesuatu yang tidak pernah dipegang oleh tangan manusia, berwarna puith kekuning-kuningan. Berbeda dengan putih murni yang tidak ada warna kuning atau merehnya. Yaqut dan Marjan diambil keindahan warnanya dan kebeningannya.

Semoga para wanita-wanita di dunia ini mampu memperoleh kedudukan untuk menjadi Bidadari-Bidadari yang lebih mulia dari Bidadari-Bidadari yang tidak pernah hidup di dunia ini. Wallahu A’lam

(Sumber Rujukan: Raudhah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin [Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu], karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah)

Saturday, June 26, 2010

Di Mana Fitrah Wanita?



Setelah kita menyadari pentingnya kembali kepada fitrah, lantas bagaimana sesungguhnya fitrah wanita itu? Apakah fitrah itu sesuatu yang biasa dikerjakan manusia? Ataukah suatu budaya yang telah berlangsung secara turun temurun?

Bukan, fitrah adalah ketetapan yang Allah SWT gariskan bagi para makhluknya. Allah yang menciptakan hambaNya sehingga Allah SWT yang paling mengetahui apa-apa yang baik bagi hambaNya dan apa yang buruk bagi hambaNya. Lalu Allah SWT memberikan tugas kepada masing-masing makhluk serta memberikan perangkat dan alat sesuai dengan tugasnya di dunia. Ketika satu diantara mereka menyerobot tugas yang bukan menjadi tugasnya, maka akan ada suatu pekerjaan yang tidak tertangani dan semakin banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan semrawut akan semakin besar pula kekacauan yang timbul.

Allah SWT menggariskan bagi kaum laki-laki untuk memimpin wanita karena memang Allah SWT mengkaruniai suatu alat bagi laki-laki untuk memimpin yang tidak dikaruniakan kepada wanita. Demikian pula Allah SWT mempercayakan seorang bayi kepada kaum wanita lantaran Allah SWT telah memberikan piranti kepadanya sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki.

Contoh lain, Allah SWT menetapkan bagi wanita separuh dari bagian laki-laki dalam hak waris, karena Allah SWT melebihkan suatu beban bagi kaum laki-laki dengan apa yang tidak dibebankan dengan kaum wanita, yakni memberikan nafkah bagi keluarga. Begitulah, Allah SWT memberikan sarana kepada makhluknya dengan apa yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Jika demikian pantaskah kita sambut seruan "persamaan gender" dalam hak-hak secara keseluruhan?

Jika kaum wanita hari ini yang menuntut persamaan hak mendapatkan jatah kursi, persamaan hak untuk mendapatkan jatah warisan dan barang murahan lainnya, maka lihatlah apa yang menjadi tuntutan para shahabiyat yang seharusnya menjadi teladan kita?

Suatu ketika Asma' bin Yazid bin Sakan menghadap Rasulullah SAW dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita yang berada dibelakangku, mereka sepakat dengan apa yang aku katakan dan sependapat dengan pendapatku… Sesungguhnya Allah SWT mengutus Anda kepada laki-laki dan juga kepada para wanita. Kamipun beriman kepada Anda dan mengikuti Anda sedangkan kami para wanita terbatas gerak-geriknya, kami mengurus rumah tangga dan menjadi tempat menumpahkan syahwat bagi suami-suami kami, kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Namun Allah SWT memberikan keutamaan kepada kaum laki-laki dengan shalat jama'ah, mengantar jenazah, dan berjihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga hartanya dan memelihara anak-anaknya, maka apakah kami mendapatkan pahala sebagaimana yang mereka dapatkan?"

Mendengar tuntutan Asma' tersebut, nabi menoleh kepada para shahabat seraya bersabda, "Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agamanya yang lebih bagus dari pertanyaan ini?" Kemudian Beliau bersabda, "Pergilah wahai Asma' dan beritahukan kepada para wanita dibelakangmu bahwa perlakuan baik kalian terhadap suami dan upaya kalian mendapat ridho darinya serta keta'atan kalian kepadanya, pahalanya sama dengan apa yang engkau sebutkan tentang pahala laki-laki. "

Maka perhatikanlah, adakah sama tuntutan hak para shahabiyat dengan kebanyakan muslimah hari ini? (Ibnu Qittun)(Sumber: KotaSantri.com)

Monday, May 31, 2010

Saudariku… Kuingin Meraih Surga Bersamamu


Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.
Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.


Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.
Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”
Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…

Luangkan Waktumu untuk Membaca Al-Qur’an!


Saudariku…
Jangan karena kesibukan dan banyaknya kegiatan menjadikan kita lupa untuk membaca dan mentadaburi al-Qur’an. Sesungguhnya ketenangan dan ketentraman dapat diperoleh dari Al-Qur’an.
Hal ini berdasarkan firman Alloh, “Ingatlah hanya dengan mengingat Alloh-lah hati menjadi tentram.” (Qs. ar-Ra’d: 28)
Dari Abdullah bin Mas’ud radiallohu ‘anhu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an maka baginya kebaikan sepuluh kali lipat, aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, Mim satu huruf.” (Shahih HR.Tirmidzi)


Dan bahkan, iri terhadap mereka yang telah mengamalkan Al-Qur’an, dibolehkan. Dari Ibnu Umar radiallohu ‘anhu yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bahwasannya beliau bersabda,
“Tidak berlaku iri kecuali terhadap dua orang, seseorang yang dianugrahi Alloh Al-Qur’an lantas dia mengamalkannya sepanjang malam dan sepanjang siang dan seseorang yang dianugerahi Alloh harta lantas dia menginfakkannya sepanjang malam dan sepanjang siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu terdapat permisalan yang baik bagi yang membaca Al-Qur’an, karena Rasululloh pernah bersabda, “Permisalan seorang muslim yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah jeruk, baunya wangi dan rasanya lezat, sedangkan orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an bagaikan buah kurma yang tidak ada baunya dan rasanya manis. Permisalan orang munafik yang membaca Al-Qur’an bagaikan kemangi yang baunya wangi rasanya pahit, sedangkan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an bagaikan labu yang tidak ad wanginya dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari Muslim)
Terdapat hikmah yang indah dari perkataan al-Ajuri rahimahullah,
“Barang siapa yang merenungi firman-Nya maka ia akan mengenal Rabbnya, akan mengetahui keutamaannya dibandingkan orang orang mukmin yang lain, dia akan menyadari kewajibannya dalam beribadah hingga senantiasa berusaha untuk menjaga kewajiban tersebut. Ia akan berhati-hati terhadap apa yang dilarang Rabb-Nya, mencintai apa yang dicintai-Nya. Barang siapa yang memiliki sifat yang demikian, ketika membaca al-Qur’an dan ketika mendengarkanya, maka Al-Qur’an akan menjadi penawar hatinya, ia akan merasa cukup tanpa harta, mulia tanpa kesulitan, lembut dalam menyikapi orang yang kasar padanya.
Orang yang memiliki sifat demikian, ketika ia memulai membaca sebuah surat yang tergambar dibenaknya adalah sejauh mana dia dapat mengambil pelajaran terhadap yang dia baca. Tujuannya membaca Al-Qur’an tidak semata-mata untuk mengkhatamkannya akan tetapi seberapa besar ia dapat memahami perintah Alloh dan mengambil pelajaran darinya. Membaca Al-Qur’an adalah ibadah maka tidaklah pantas membacanya dengan hati yang kosong lagi lalai, dan Allah Ta’ala maha memberi taufik terhadap yang demikian.”
Wahai saudariku, jangan sampai waktu kita tidak ada sedikitpun untuk membaca atau membaca Al-Qur’an. Berusahalah, walaupun sedikit waktu tersisa.
Penulis: Ummu Yusuf Wikayatu Diny
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar

Muslimah yang Ikhlas


Saudariku muslimah… ketahuilah bahwa engkau dan manusia seluruhnya di muka bumi ini diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah, demikian pula tujuan jin diciptakan tidak lain adalah untuk meyembah Allah.
Allah berfirman,
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu (yaitu mengesaknKu).” (Adz Dzariyat 56)


Ibadah dilakukan oleh seorang muslimah karena kebutuhannya terhadap Allah sebagai tempat sandaran hati dan jiwa, sekaligus tempat memohon pertolongan dan perlindungan. Dan ketahuilah saudariku bahwa ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang muslimah, di samping dia harus mencontoh gerak dan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ibadahnya.
“Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan dien (agama) kepadaNya, dengan mentauhidknnya.” (Al Bayyinah 5)
Ikhlas adalah meniatkan ibadah seorang muslimah hanya untuk mengharap keridhoan dan wajah Allah semata dan tidak menjadikan sekutu bagi Allah dalam ibadah tersebut. Ibadah yang dilakukan untuk selain Allah atau menjadikan sekutu bagi Allah sebagai tujuan ibadah ketika sedang beribadah kepada Allah adalah syirik dan ibadah yang dilakukan dengan niat yang demikian tidak akan diterima oleh Allah. Misalnya menyembah berhala di samping menyembah Allah atau dengan ibadah kita mengharapkan pujian, harta, kedudukan dunia, dan lain-lain. Syirik merusak kejernihan ibadah dan menghilangkan keikhlasan dan pahalanya.
Abu Umamah meriwayatkan, seseorang telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?”
Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ” Ia tidak mendapatkan apa-apa.”
Orang tadi mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, dan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tetap menjawab, ” Ia tidak akan mendapatkan apa-apa. ” Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharap wajahNya.” (HR. Abu Dawud dan Nasai)
Ketahuilah saudariku… bahwa ikhlas bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sedikit atau pun banyak – sehingga tujuan ibadah adalah murni karena Allah.
Ikhlas hanya akan datang dari seorang muslimah yang mencintai Allah dan menjadikan Allah sebagi satu-satunya sandaran dan harapan. Namun kebanyakan wanita pada zaman sekarang mudah tergoda dengan gemerlap dunia dan mengikuti keinginan nafsunya. Padahal nafsu akan mendorong seorang muslimah untuk lalai berbuat ketaatan dan tenggelam dalam kemaksiatan, yang akhirnya akan menjerumuskan dia pada palung kehancuran di dunia dan jurang neraka kelak di akhirat.
Oleh karena itu, hampir tidak ada ibadah yang dilakukan seorang muslimah bisa benar-benar bersih dari harapan-harapan dunia. Namun ini bukanlah alasan untuk tidak memperhatikan keikhlasan. Ingatlah bahwa Allah sentiasa menyayangi hambaNya, selalu memberikan rahmat kepada hambaNya dan senang jika hambaNya kembali padaNya. Allah senatiasa menolong seorang muslimah yang berusaha mencari keridhoan dan wajahNya.
Tetaplah berusaha dan berlatih untuk menjadi orang yang ikhlas. Salah satu cara untuk ikhlas adalah menghilangkan ketamakan terhadap dunia dan berusaha agar hati selalu terfokus kepada janji Allah, bahwa Allah akan memberikan balasan berupa kenikmatan abadi di surga dan menjauhkan kita dari neraka. Selain itu, berusaha menyembunyikan amalan kebaikan dan ibadah agar tidak menarik perhatianmu untuk dilihat dan didengar orang, sehingga mereka memujimu. Belajarlah dari generasi terdahulu yang berusaha ikhlas agar mendapatkan ridho Allah.
Dahulu ada penduduk Madinah yang mendapatkan sedekah misterius, hingga akhirnya sedekah itu berhenti bertepatan dengan sepeninggalnya Ali bin Al Husain. Orang-orang yang yang memandikan beliau tiba-tiba melihat bekas-bekas menghitam di punggung beliau, dan bertanya, “Apa ini?” Sebagian mereka menjawab, “Beliau biasa memanggul karung gandum di waktu malam untuk dibagikan kepada orang-orang fakir di Madinah.” Akhirnya mereka pun tahu siapa yang selama ini suka memberi sedekah kepada mereka. Ketika hidupnya, Ali bin Husain pernah berkata, “Sesungguhnya sedekah yang dilakukan diam-diam dapat memadamkan kemurkaan Allah.”
Janganlah engkau menjadi orang-orang yang meremehkan keikhlasan dan lalai darinya. Kelak pad hari kiamat orang-orang yang lalai akan mendapati kebaikan-kebaikan mereka telah berubah menjadi keburukan. Ibadah mereka tidak diterima Allah, sedang mereka juga mendapat balasan berupa api neraka dosa syirik mereka kepada Allah.
Allah berfirman,
“Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi azab mereka dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (Az Zumar 47-48)
“Katakanlah, Maukah kami kabarkan tentang orang yang paling merugi amalan mereka? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedang mereka menyangka telah mengerjakan sebaik-baiknya.” (Al Kahfi 103-104)
Saudariku muslimah… bersabarlah dalam belajar ikhlas. Palingkan wajahmu dari pujian manusia dan gemerlap dunia. Sesungguhnya dunia ini fana dan akan hancur, maka sia-sia ibadah yang engkau lakukan untuk dunia. Sedangkan akhirat adalah kekal, kenikmatannya juga siksanya. Bersabarlah di dunia yang hanya sebentar, karena engkau tidak akan mampu bersabar dengan siksa api neraka walau hanya sebentar.

Ketika Kita Ingin Dilihat


Masya Allah, anti sudah hafal 5 juz ???
Hmmm…
Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai saudariku, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.

Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niatpun mampu mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.


Kali ini, kita tidak hendak membahas tentang ikhlas melainkan salah satu lawan dari ikhlas, yaitu riya’.
Hudzaifah Ibnu Yaman pernah berkata:
“Orang-orang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)
Maka saudariku muslimah, marilah kita mempelajari tentang riya’ agar kita terhindar dari kejelekannya.
Mari Kita Berbicara tentang Riya’
Secara bahasa, riya’ berasal dari kata ru’yah (الرّؤية), maknanya penglihatan. Sehingga menurut bahasa arab hakikat riya’ adalah orang lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia, lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”
Pernahkah ukhti mendengar tentang sum’ah? Sum’ah berbeda dengan riya’, jika riya’ adalah menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka sum’ah berarti kita ingin ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan: “Adapun sum’ah sama dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indera pendengaran (telinga) sedangkan riya’ berkaitan dengan indera penglihatan (mata).”
Jadi, jika seorang beramal dengan tujuan ingin dilihat, misalnya membaguskan dan memperlama shalat karena ingin dilihat orang lain, maka inilah yang dinamakan riya’. Adapun jika beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan Al Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini yang disebut sebagai sum’ah.
Bahaya Riya’
Ketahuilah wahai saudariku, bahwa riya’ termasuk ke dalam syirik asghar/kecil. Ia dapat mencampuri amal kita kemudian merusaknya.
Amalan yang dikerjakan dengan ikhlas akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana dengan amalan yang tercampur riya’? Tentu saja akan merusak pahala amalan tersebut. Bisa merusak salah satu bagiannya saja atau bahkan merusak keseluruhan dari pahala amalan tersebut.
Berikut ini beberapa bentuk riya’:
1. Riya’ yang mencampuri amal dari awal hingga akhir, maka amalannya terhapus.
Misalnya seseorang yang hendak mengerjakan shalat lalu datang seseorang yang ia kagumi. Kemudian ia shalat dengan bagus dan khusyu’ karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’ tersebut ada dari awal hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk menghilangkannya, maka amalannya terhapus.
2. Riya’ yang muncul tiba-tiba di tengah-tengah amal dan dia berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ ini tidak mempengaruhi pahala amalannya. Misalnya seseorang yang shalat kemudian muncul riya’ di tengah-tengah shalatnya dan ia berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ tersebut tidak mempengaruhi ataupun merusak pahala shalat tersebut.
3. Riya’ muncul tiba-tiba di tengah-tengah namun dibiarkan terus berlanjut, maka ini adalah syirik asghar dan menghapus amalannya. Namun dalam kondisi ini ulama berselisih pendapat tentang amalan mana yang terhapus, misalnya riya’ dalam shalat. Apakah rakaat yang tercampuri riya’ saja yang terhapus ataukah keseluruhan shalatnya?
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang terhapus hanyalah pada amalan yang terkait. Pendapat kedua, yaitu perlu dirinci:
1. Kalau amalannya merupakan satu rangkaian dan tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain, misalnya shalat dhuhur empat rakaat, maka terhapus rangkaian amal tersebut.
2. Kalau amalannya bukan merupakan satu rangkaian, maka amal yang terhapus pahalanya adalah sebatas yang tercampuri saja. Misalnya seseorang yang bersedekah kepada sepuluh orang anak yatim. Saat bersedekah pada anak kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi riya’ muncul saat ia bersedekah pada anak ke-enam, maka pahala yang terhapus adalah sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang serupa adalah puasa.
Riya’ itu Samar
Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar dan tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.
Saudariku, pernahkah engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara langkahnya begitu samar bahkan tidak dapat kita dengar. Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesamaran riya’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada selain Allah?” maka beliau bersabda.”Bagaimana engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (HR Abu Ya’la Al Maushili dalam Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari, cetakan pertama, tahun 1408 H, Muassasah Ulum Al Qur’an, Beirut, hlm 1/61-62. dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Targhib, 1/91)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umat Islam melebihi kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal. Disebutkan dalam sabda beliau: “Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan menimpa kalian daripada Dajjal.” Kami menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan shalatnya karena ia melihat ad seseorang yang memandangnya.”
Hal ini tidak akan terjadi, kecuali karena faktor pendukung yang kuat. Yaitu karena setiap manusia memiliki kecenderungan ingin mendapatkan pujian, kepemimpinan dan kedudukan tinggi di hadapan orang lain.
Bentuk Riya’
Wahai ukhti muslimah, didalam mencapai tujuannya, para mura’i (orang yang riya’) menggunakan banyak jalan, diantaranya sebagai berikut:
1. Dengan tampilan fisik, yaitu seperti menampilkan fisik yang lemah lagi pucat dan suara yang sangat lemah agar dianggap sebagai orang yang sangat takut akhirat atau rajin berpuasa.
2. Dengan penampilan, yaitu seperti membiarkan bekas sujud di dahi dan pakaian yang seadanya agar tampil seperti ahli ibadah. Ketika menjelaskan QS Al Fath, dalam Hasyiah Ash Shawi 4/134 disebutkan, “Yang dimaksud ‘bekas sujud’ bukanlah hitam-hitam di dahi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang ingin riya’ karena hitam-hitam di dahi merupakan perbuatan khawarij.”
3. Dengan perkataan, yaitu seperti banyak memberikan nasehat, menghafal atsar (riwayat salaf) agar dianggap sebagai orang yang sangat memperhatikan jejak salaf.
4. Dengan amal, yaitu seperti memperlama rukuk dan sujud ketika shalat agar tampak khusyu’ dan lain-lain.
Kiat Mengobati Penyakit Riya’
Wahai saudariku, setiap insan tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang pernah dilakukannya.
Hati manusia cepat berubah. Jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Hanya kepada Allahlah kita memohon agar hati kita diteguhkan dalam agama ini. َ
Selain itu, hendaknya kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar dari penyakit riya’. Saudariku, inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari riya’:
1. Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya’
Riya’ adalah penyakit kronis dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah (bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan riya’, sambil tetap meminta pertolongan Allah Ta’ala untuk menolaknya. Karena seorang hamba selalu membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu, untuk mengobati riya’, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya’ dan sum’ah. Demikian yang diajarkan Rasulullah dalam sabda beliau:
“Wahai sekalian manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab, “Katakanlah:
اللّهُمَّ إِنَّانَعُوْذُبِكَ مِنْ أََنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًانَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُ
‘Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami mohon ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui.’” (HR. Ahmad)
2. Mengenal riya’ dan berusaha menghindarinya
Kesamaran riya’ menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui dan mengenal dengan baik riya’ dan penyebabnya. Selanjutnya, berusaha menghindarinya. Adakalanya seorang itu terjangkit penyakit riya’ disebabkan ketidaktahuan dan adakalanya karena keteledoran dan kurang hati-hati.
3. Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia dan akhirat
Duhai saudariku di jalan Allah, sifat riya’ tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan memberikan madharat yang banyak di dunia dan akhirat. Riya’ dapat membuat kemurkaan dan kemarahan Allah. Sehingga seseorang yang riya’ akan mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.
4. Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya mengekang riya’ adalah dengan menyembunyikan amalan. Hal ini dilakukan oleh para ulama sehingga amalan yang dilakukan tidak tercampuri riya’. Mereka tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk mengganggunya. Para ulama menegaskan bahwa menyembunyikan amalan hanya dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah. Sedangkan amalan yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman dari riya’. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman dan keyakinan mereka.
5. Latihan dan mujahadah
Saudariku, ini semua membutuhkan latihan yang terus menerus dan mujahadah (kesungguhan) agar jiwa terbina dan terjaga dari sebab-sebab yang dapat membawa kepada perbuatan riya’ bila tidak, maka kita telah membuka pintu dan kesempatan kepada setan untuk menyebarkan penyakit riya’ ini ke dalam hati kita.
Belajar dari Para Salaf
Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri dari riya’ dan sum’ah. Mereka tidak menginginkan ketenaran dan popularitas. Justru sebaliknya, mereka ingin agar tidak terkenal. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka terkena ujub (bangga diri).
Abu Zar’ah yahya bin Abu ‘Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar untuk memohon hujan bersama-sama dengan orang-orang, tapi ternyata hujan tidak turun dan beliau juga tidak melihat awan. Beliau berkata: “Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?” (dalam satu riwayat: tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau pun bertanya lagi: “Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau mendengar, saya sangat berharap beliau berdiri.”) “Ini saya”, seru Yazid. “Berdirilah dan tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu perantara(*) kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.”, kata Adh-Dhahhak bin Qais. Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan kepala sebatas bahu serta menyingsingkan lengan baju beliau kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.” Beliau berdoa tiga kali dan seketika itu pula turunlah hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi banjir. Kemudian beliau pun berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat saya dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini.” Kemudian hanya berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa itu beliau pun wafat. (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fasawi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
(*) Dalam keadaan ini, meminta perantara dalam berdo’a diperbolehkan, karena Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi yang menjadi perantara masih dalam keadaan hidup, dan beliau adalah seorang yang shaleh. Bedakan dengan keadaan orang-orang yang berdo’a meminta kepada orang yang dianggap shaleh yang sudah meninggal dunia di kubur-kubur mereka! dan ini merupakan Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di neraka jika belum bertaubat. -ed
Berkata Hammad bin Zaid rahimahullah: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau melewati jalan-jalan yang membuat diriku heran dan bertanya-tanya kenapa beliau sampai berbuat seperti ini (berputar-putar melewati beberapa jalan). Ternyata beliau berbuat seperti itu karena beliau tidak mau orang-orang mengenal beliau dan berkata: ‘Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad dan lainnya).
Hammad berkata lagi: “Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang lebih jauh, maka sayapun berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’ Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang apabila dia memberi salam, akan dijawab oleh mereka dengan jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang lainnya. Dia berkata: ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak menginginkannya!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fawasi (2/239-pada penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya’. Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan. Innamal ‘ilmu ‘indallah. Wa’allahu a’lam.
Penyusun: Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Aris Munandar

Sunday, May 23, 2010

Kebahagiaan Adalah Anugrah ya ukhti!


Kebahagiaan tidak lain adalah limpahan karunia Ilahi, bukan merupakan sebuah hasil usaha semata. Seperti masuknya hamba-hamba yang sholeh kedalam syurga bukan dikarenakan amalan mereka semata yang -sebut saja tidak terhitung jumlahnya menurut ukuran manusia- melainkan karena rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam sudut pandang ikhtiar atau usaha, Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa manusia diberikan kebebasan memilih, jalan kebahagiaan atau kesengsaraan. Tapi tetap seluruh usaha manusia -mau tidak mau- terikat dalam sebuah ketetapan pasti yaitu takdir Alloh.
Takdir adalah hak mutlak milik Allah. Manusia hanya memiliki hak menebar usaha, melakukan amalan, berikhtiar dan bekerja. Kita harus mengimani takdir apapun yang terjadi. Namun dalam nuansa ikhtiar kita harus tetap berusaha, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Ada dua kata kunci disini: takdir dan usaha. Keduanya tidak bisa terpisahkan. Dan keduanya, bisa menjadi pemicu terwujudnya gelombang kebahagiaan.
Pertama, takdir. Dengan meyakini takdir, seorang muslimah akan memiliki ketabahan, terutama di saat harus menerima dera musibah secara bertubi-tubi atau di saat menghadapi ancaman terhadap ketentraman hidupnya.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ فِي الأرْضِ وَلاَ فِيَ أَنفُسِكُمْ إِلاّ فِي كِتَابٍ مّن قَبْلِ أَن نّبْرَأَهَآ إِنّ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرٌ
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakan-nya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)
Ketabahan itulah, yang akan menjadi pemicu kebahagiaan. Karena ketabahan itu muncul melalui proses keimanan yang bertarung melawan bujuk rayu nafsu, melawan tekanan keadaan, untuk kemudian keluar sebagai pemenang, mendulang karunia petunjuk Allah.
Allah berfirman,
مَآ أَصَابَ مِن مّصِيبَةٍ إِلاّ بِإِذْنِ اللّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللّهُ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu…” (Ath Thaghabun: 11)
Hati yang mendapatkan petunjuk, niscaya memancarkan cahaya pasrah, menyingkirkan nafsu amarah, menepis rasa kesal dan kecewa sehingga lahirlah kebahagiaan itu.
Di sisi lain, keyakinan kepada takdir, menyeruakkan nuansa kesegaran berpikir, karena dasar keyakinan bahwa Allah akan memberikan pahala, bagi orang-orang yang tabah dan sabar.
وَجَزَاهُمْ بِمَا صَبَرُواْ جَنّةً وَحَرِيراً
“Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena ketabahan mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera…” (Al Insan: 12)
Kedua, adalah usaha yaitu usaha yang baik atau amal sholeh yang dilakukan seorang mukmin, memiliki nilai sakral. Berkaitan dengan kandungan ruh keikhlasan dan kekuatan dan kekuatan peneladanan terhadap manusia terbaik, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang terdapat di dalamnya. Dua kandungan itu, bagaikan nyawa dan kekuatan. Membuat usaha yang dilakukan oleh seorang mukmin berpengaruh impresif, menekan jauh ke lubuk jiwa, melakukan kepuasan yang tiada tara. Tidak peduli, apakah usaha itu -pada akhirnya- menampakkan hasil, atau terjatuh pada lubang-lubang kegagalan. Dalam konteks ini, usaha apa pun yang dilakukan oleh seorang muslim tak lepas dari bingkai ibadah, atau penghambaan diri kepada Allah. Semakin hebat usaha yang dilakukan, semakin meningkat kualitas kehambaannya.
Sebagai contohnya, ibadah sholat diyakini mampu menjadi media penyejuk hati, bila dilakukan dengan khusu‘ dan dibarengi dengan kesabaran jiwa…
يَآأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ إِنّ اللّهَ مَعَ الصّابِرِينَِ
“Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al Baqoroh: 153)
Dari pemaparan di atas, kita bisa menyimpulkan sebuah fenomena yang cukup menarik. Kebahagiaan itu lebih sering muncul, setiap kali seorang muslim selesai melakukan pekerjaannya. Disebut dengan kata lebih sering muncul, karena selesai atau tidak suatu pekerjaan, berhasil atau tidak suatu usaha, tidak akan mempengaruhi kebahagiaan yang bakal didapat oleh seorang muslim. Di saat gagal berusaha, seorang mukmin tetaplah berbahagia, karena pengaruh mutiara ketabahan yang tertanam kuat dalam jiwanya. Di saat berhasil, ia akan memperoleh kebahagiaan lebih, karena rasa syukurnya. Itulah keajaiban seorang mukmin!
“Sungguh ajaib sikap seorang mukmin! Karena segala sesuatunya baik baik baginya. Hal itu hanya berlaku bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatak kesenanagan, ia bersyukur. Itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 2999)
Sekali lagi, kebahagiaan itu lebih mudah dirasakan oleh seorang muslim ketika usaii menyelesaikan pekerjaannya. Adapun rasa syukur yang ia ungkapkan, menjadikannya nilaii lebih. Meskipun secara umum, rasa syukur itu lebih mudah dilakukan, daripada ketabahan dii saat terjadi musibah. Disebutkan dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya, ketabahan yang sejati itu ada pada guncangan pertama kali ketika terjadinya musibah.” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shohihnya I: 430)
Rasa syukur akan memberikan nilai lebih, terhadap penyegaran hati dan penentraman jiwa. Dari situlah, sebuah karunia akan semakin terasa kenikmatannya.
Sebagaimana realitas kehidupan, kebahagiaan biasa hadir di saat seorang hamba mengakhiri ibadah puasanya selepas maghrib. Kehadirannya bagaikan kebahagiaan utama yang luar biasa nikmatnya.
“Orang yang melaksanakan ibadah puasa, memiliki dua kebahagiaan, yang pasti akan dirasakannya: Saat berbuka, ia berbahagia karena selesai berpuasa. Saat berjumpa dengan Allah, ia berbahagia, karena ibadah puasanya.” (Diriwayatkan oleh Al Bukari II: 673, oleh Muslim II: 807 dan At Tirmidzy III: 137)
Kebahagiaan yang didapatkan oleh seorang muslim lebih bersifat nyata dan pasti, karena merupakan dua senyawa yang terkait antara satu dengan lain. Yaitu takdir Allah dan usaha manusia dengan cara yang benar dan ikhlas. Sementara bagi orang yang tidak beriman, kebahagiaan hanyalah merupakan ‘letupan’ sesaat, tatkala menemukan hal-hal yang disukainya, atau terlepas dari beban yang menghimpitnya. Nilainya pun hanyalah sesaat, karena tidak memiliki ruh keikhlasan dan kekuatan.
Kebahagiaan tetaplah rahasia Ilahi, meskipun ’sejuta manusia’ menggapai langit dan menggali bumi, demi kebahagiaan sejati.
Keyakinan terhadap takdir, menjunjung manusia ke arah ketabahan, kepasrahan dan keteduhan hati.
Keihlasan, bak mutiara terpendam, menyorotkan cahaya pasrah, menyambut keridhoan ilahi.
Peneladanan terhadapmu, wahai Nabiku, seringkali menggeser segala kesukaan kami terhadap segenap penghuni bumi. Itulah sebabnya, kehambaan kami bertahan hingga kini.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan takdirmu, niscaya keabadian menghampirimu dengan segala keindahannya.
Saudari muslimah, berbahagialah dengan keislamanmu, niscaya surga dunia, juga surga akherat, berkenan menyambutmu…
Maroji’: Aku Wanita paling Bahagia (Abu Umar Basyier)

Jangan Menyerah Saudariku!


Pusing! itulah yang ada di kepala Ida (bukan nama sebenarnya). Sepertinya ‘tuntutan hidup’ mengharuskan dia bekerja, yang itu berarti dia harus bercampur baur dengan para pria. Ya Allah, kuatkanlah imannya dan berikan sifat istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada-Mu. Aamiin.

Sebuah tuntutan dari orang yang telah membiayai pendidikan (kuliah), baik itu orang tua, kakak, paman, bibi, atau yang lainnya adalah sebuah kewajaran ketika mereka merasa bahwa ‘tugas’ mereka menyekolahkan seorang anak telah selesai. Lalu, apakah setiap tuntutan itu harus dipenuhi? Lalu kemudian teringat sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang maknanya adalah sebuah kebaikan dibalas dengan kebaikan yang serupa, dan bila tidak mampu maka dengan mendoakannya (HR. Baihaqi). Berbagai pikiran mungkin berkecamuk di benak, “Entah telah berapa puluh juta yang mereka telah keluarkan untuk membiayai kuliahku, tapi entah berapa yang bisa kubalas, atau entah apakah sebanding yang kudapat sekarang dengan yang mereka korbankan.” Di samping tuntutan dari orang-orang di belakang layar selama proses menempuh perkuliahan, masih pula dikejar-kejar oleh kebutuhan hidup yang perlu dipenuhi. Dan biaya-biaya tak terduga yang pada intinya akan mengurangi ‘bekal’ yang masih tersisa. Seakan-akan semua keadaan itu berteriak bersama-sama, “Kerja! kerja! kerja!”, “Cari yang bergaji wah!”, “Pendekkan saja jilbabmu, tidak apa-apa, biar cepat mendapatkan kerja!”, “Lepas cadarmu, tidak ada yang mau menerima wanita seperti dirimu”, “Jangan cuma kerja yang begitu!” Dan bisikan-bisikan hawa nafsu yang setiap orang pasti memilikinya, dan tidaklah hawa nafsu itu melainkan mengajak pada keburukan.
Saudariku, kuatkan imanmu!
Dimana pelajaran tauhid yang selama ini telah engkau pelajari? Dan kemanakah perginya konsekuensi dari pengenalan nama dan sifat Allah Ta’ala yang telah engkau ketahui? Engkau mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Engkau telah mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah mengatur seluruhnya dan tertulis dalam kitab Lauh Mahfuz. Jauh, jauh sebelum engkau diciptakan. Segala ketentuannya tak dapat dirubah. Namun, engkau adalah manusia yang menjalankan dengan berbagai pilihan. Dan engkau akan dimudahkan pada setiap takdir yang telah ditentukan. Dari pengenalanmu tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, engkau mengetahui, bahwa rezeki, kehidupan yang baik dan buruk, seluruhnya telah ditentukan. Maka, berdoalah! Dan bersabarlah! Serta bersyukurlah dengan keadaanmu sekarang.
…Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Al Imraan [3]: 145)
Engkau tidak dapat mengejar tujuan hidup berupa kekayaan. Dan engkau -seharusnya- tidak menanggalkan pakaian ketakwaan. Kekayaan telah ditentukan. Nikmat Islam telah diberikan. Keadaan yang diberikan kepadamu sekarang, insya Allah adalah lebih baik dari yang lain atau yang sebelumnya. Jika engkau masih memikirkan, antara keinginan yang kuat untuk tetap bertahan dalam ketaatan menjalankan syari’at, maka bersyukurlah! Karena itu adalah keadaan yang lebih baik untuk dirimu. Bandingkanlah dengan keadaan mereka yang tidak perlu bersusah payah mempertimbangkan itu semua. Dan dengan mudahnya mereka jatuh dalam gelimang dosa. Dan salah satu cara untuk mewujudkan rasa syukurmu adalah dengan lebih menjalankan ketaatan kepada-Nya. Perhatikanlah firman Allah ta’ala kepada orang-orang yang telah diberikan nikmat.
…Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Al A’raaf [7]: 69)
Nikmat yang engkau rasakan dalam menjalankan ketaatan dalam agama Islam adalah jauh lebih baik dari dunia dan segala isinya. Tidak semua orang Islam dapat merasakan ini. Karena terdapat dua nikmat dalam Islam. Nikmat karena telah beragama Islam (ni’mat lil islam) dan nikmat dalam Islam itu sendiri (ni’mat fil islam). Tidak semua orang Islam mendapatkan nikmat untuk menjalankan ketundukan pada syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya! Baiklah! Masih berkutat di pikiranmu. Bagaimana dengan kebutuhan hidupku?! Bagaimana dengan balas jasaku? Allahumma… semoga Allah memudahkan jalanmu saudariku. Tidakkah engkau ingat bahwa masing-masing telah ditentukan rezekinya. Bahkan sampai binatang yang cacat sekalipun, yang ia tidak dapat mencari makanan sendiri atau mangsa sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji pada hamba-hamba-Nya lewat firman-Nya (dan sungguh janji Allah Ta’ala adalah benar adanya)
…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaq [65]: 2)
Dan ayat ini sejalan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberikan jalan bagi seorang muslim dalam menghadapi kehidupan di dunia dimana seorang makhluk memiliki berbagai kebutuhan,
Sekiranya kalian bertawwakal kepada Allah secara benar maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki pada burung. Mereka berangkat pada waktu pagi dalam keadaan sangat lapar dan pulang dalam keadaan sangat kenyang. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Majah, Ibn Hibban, dan Hakim. Tirmidzi berkata, hadist ini hasan shohih)
Saudariku… burung tersebut tentu tidak memastikan bahwa setiap bulannya harus mendapatkan makanan sekian dan sekian. Namun ia berusaha untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan dan mendapatkan rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka bersyukur adalah yang lebih layak engkau lakukan dan dengan demikian maka akan terwujud sikap qona’ah dalam hatimu.
Syaitan menjanjikan kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan, sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengatahui. (Al-Baqoroh [2]: 268)
Lalu, bagaimana dengan balas jasaku? Maka dengan menjalankan keta’atan kepada Allah, engkau memberikan balasan yang insya Allah jauh lebih besar manfaatnya untuk mereka di akherat nanti. Mengapa? Perhatikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini (yang secara makna artinya) “Tidak ada ketaatan pada makhluk dalam hal kemaksiatan pada Allah.”
Dan dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan maka dia menanggung dosanya dan juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari dosa-dosa mereka. (HR. Muslim)
Maka jika engkau mengikuti mereka dalam sebuah hal yang dapat menjerumuskanmu dalam kemaksiatan, maka ketahuilah saudariku, engkau juga telah memberikan dosa-dosa yang semisal kepada mereka. Wal’iyyadzubillah. Dan berpuluh-puluh juta yang telah mereka korbankan untukmu agar engkau pada akhirnya menjalankan sebuah kemaksiatan tidak akan memberi manfaat sedikitpun di akherat nanti dan justru yang terjadi adalah sebaliknya, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas segala amal perbuatannya. Maka, janganlah ukur segala sesuatu dengan materi keduniaan. Karena ada kehidupan yang jauh lebih patut untuk dipikirkan dan dipersiapkan.
Pesan terakhir yang paling baik adalah kalimat dari manusia terbaik yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abu Sa’id Al-Khudry rodhiallahu’anhu, dia berkata. ‘Aku memasuki tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau sedang demam. Lalu kuletakkan tanganku di badan beliau. Maka aku merasakan panas di tanganku di atas selimut. Lalu aku berkata. ‘Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini pada dirimu’. Beliau berkata: ‘Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami’. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya ? Beliau menjawab: ‘Para nabi. Aku bertanya. ‘Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: ‘Kemudian orang-orang shalih. Sungguh salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, sampai-sampai salah seorang diantara mereka tidak mendapatkan kecuali (tambalan) mantel yang dia himpun. Dan, sungguh salah seorang diantara mereka merasa senang karena cobaan, sebagaimana salah seorang diantara kamu yang senang karena kemewahan.’ (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim, di shahihkan Adz-Dzahaby)
Jangan menyerah saudariku!
Rezeki yang kau butuhkan,
tidak hanya bertumpuk pada hiruk pikuk perkantoran.
Tidak hanya terkumpul pada tempat yang memudahkanmu menjalankan kemaksiatan.
Balas jasamu tidak sekedar materi keduniaan.
Sebuah do’a dan amal sholeh lebih dapat menghindarkan mereka dari kehinaan.
Insya Allah.
Semoga Allah memudahkanmu dalam ketaatan.
Dan memberikan yang lebih baik, yaitu manisnya iman.
Sebuah nasihat bagi diriku dan ukhtifillah…
Artikel www.muslimah.or.id

Followers