Masih kental dalam ingatan, bulan april yang sangat erat kaitannya
dengan sosok pejuang perempuan Indonesia R.A Kartini. Beliau, dengan
ketegasannya untuk menyetarakan status antara perempuan dan laki-laki di mata masyarakat
pada saat itu, kemudian membawa era baru dalam kehidupan perempuan di Indonesia
yang sarat dengan norma, adat dan kebudayaan. Sudah puluhan tahun setelah
perjuangan Kartini membumi di Indonesia, perempuan-perempuan hadir dengan
berbagai kesetaraan yang mulai berterima di masyarakat. Kita dapat melihat
perempuan duduk di kursi pemerintahan, perempuan sebagai kepala bagian di
kantor, perempuan yang mengenyam bangku sekolah, hingga duduk sejajar dengan
laki-laki sebagai siswa di sebuah perguruan tinggi.
Namun, di tengah segala kesetaraan yang telah hadir di tengah
masyarakat tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki, muncul keresahan di
kalangan masyarakat. Gempuran arus globalisasi dan gerakan-gerakan ekstrim dari
barat seakan menjadi momok akan nilai adat, budaya sebagai orang timur juga
sebagai pemeluk agama islam, yang kemudian membangun doktrin-doktrin baru bahwa
kesetaraan yang ada kini telah melampaui batas adat dan budaya yang selama ini
digenggam erat masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab
eksistensi perempuan dalam organisasi dipertanyakan. Sebab mereka (red aktivis
perempuan) dengan segala kegiatannya di organisasi akan mau tidak mau
dihadapkan dengan nilai adat dan budaya masyarakat yang ada.
Seorang aktivis perempuan di sebuah organisasi pergerakan tentunya
tidak lepas dari pengkaderan, diskusi dan rapat-rapat atau koordinasi
agenda-agenda terdekat yang akan dijalani. Hal ini akan sangat sulit dilakukan
di pagi, siang atau sore hari, sebab waktu-waktu tersebut mereka masih
disibukkan dengan kegiatan perkuliahan atau kegiatan organisasi intra kampus
yang mereka ikuti. Maka waktu pagi hingga sore mereka akan menyelam dalam hiruk
pikuk perkuliahan, dan sebagainya yang ada di dalam kampus. Dapat disimpulkan
bahwa waktu yang tersisa untuk organisasi ekstra kampus yang mereka ikuti hanya
di malam hari. Maka dari itu, tidak heran bila seorang perempuan yang memilih
jalan hidup sebagai kader di organisasi ekstra kampus akan erat kaitannya
dengan kehidupan malam. Kehidupan malam disini bukan merupakan ‘kehidupan
malam’ di tempat-tempat lokalisasi, bar, club dan sebagainya.
Akan tetapi, kehidupan malam yang dimaksud adalah kehidupan di lantai gedung
kuliah, pojok-pojok warung kopi, pun rayon atau komisariat yang berisi diskusi,
rapat dan sebagainya.
Kehidupan malam inilah yang kemudian menjadi persoalan dalam peran
seorang perempuan di sebuah organisasi pergerakan. Sebab kehidupan malam yang dilakukan
oleh mereka tidak serta-merta bejalan mulus, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan
mereka, yakni;
Pertama, banyak dari mereka yang memilih untuk tinggal di pondok
pesantren, atau kos yang tutup pukul 9 malam. Entah dari dorongan keluarga atau
keinginan sendiri, tinggal di pondok pesantren atau kos dengan jam malam memang
lebih banyak dipilih mahasiswi-mahasiswi. Hal ini tentu menjadi persoalan dalam
kehidupan perempuan-perempuan yang ada di sebuah organisasi pergerakan. Tidak
kemudian bermaksud menyalahkan atau tidak setuju dengan mereka yang memilih hal
itu. Sebagai seorang perempuan yang nantinya menjadi ibu bagi putra-putrinya,
tentu mereka harus menyiapkan bekal yang cukup, pengetahuan agama yang luas,
sebab darinya pendidikan pertama seorang anak akan terjadi. Akan tetapi, hal
tersebut janganlah dijadikan alasan untuk melalaikan tanggung jawab moral
sebagai seorang kader di organisasi pergerakan. Jika memang kehidupan malam
tidak dapat mereka lakukan, mereka harusnya bersikap dewasa dan tidak
melalaikan tanggung jawabnya, lantas kemudian membebankan semuanya kepada sahabati
lain yang tidak tinggal di pondok pesantren atau kos dengan jam malam.
Kedua, pandangan buruk masyarakat terhadap perempuan yang keluar
malam, atau perempuan yang duduk di warung kopi. Tidak dapat dipungkiri
kehidupan sebagai mahasiswa akan erat kaitannya dengan masyarakat, sebab
kanan-kiri tempat mereka tinggal adalah masyarakat. Dan wajar bila kehidupan
malam yang dijalani oleh para aktivis ini mendapat sorotan dari mereka.
Ketidak-tahuan masyarakat tentang apa saja yang dilakukan para aktivis kiranya
menjadi alasan yang kemudian membuat mereka memandang buruk perempuan-perempuan
yang pulang larut malam. Selain itu, gambaran kehidupan malam yang disajikan di
televisi tidak pernah menyorot sisi kehidupan malam seorang mahasiswa aktivis
yang sesungguhnya. Gambaran kehidupan malam yang disuguhkan televisi adalah
kehidupan malam mahasiswa yang sarat dengan mabuk-mabukan, narkoba, dan hal-hal
negative lainnya. Hal ini lah yang secara sadar atau tidak menjadi dasar
pandangan masyarakat akan aktivitas yang dijalani mahasiswa. Perempuan sebagai
kader organisasi pergerakan, dengan kehidupan malamnya tentu akan berhadapan
dengan pandangan yang (sudah terlanjur) melekat di masyarakat. Mau tidak mau,
mereka yang tadinya bersemangat untuk berdiskusi, rapat dan sebagainya akan
menciut dengan tudingan-tudingan miring yang dilakukan masyarakat.
Ketiga, kepulan asap rokok. Hal ini terkesan remeh, akan tetapi
banyak dari aktivis perempuan yang kemudian perlahan-lahan mundur dari dunia
malam sebagai seorang aktivis pergerakan. Bagi aktivis laki-laki, mereka tidak
akan mempermasalahkan hal itu, sebab banyak dari mereka adalah oknum yang
melakukan hal itu (red merokok). Hal inilah yang menjadi masalah, sebab banyak
dari perempuan yang tidak suka dengan rokok.
Dari berbagai hal yang sudah dijelaskan diatas, dapat dilihat bahwa
peran seorang kader perempuan di organisasi pergerakan mau tidak mau akan
dihadapkan dengan berbagai hal yang ada disekitarnya. Namun, semua itu tidak
lantas membenarkan pernyataan bahwa peran dan eksistensi seorang kader
perempuan di organisasi pergerakan sangat minim atau sangat lemah, dan kader
laki-laki lah yang berperan besar dalam organisasi. Akan tetapi keberadaan
mereka ditengah segala hal yang harus mereka hadapi tentu menjadi poin
tersendiri. Kesadaran seorang kader perempuan dan kedewasaannya dalam menyikapi
berbagai kondisi yang ada di masyarakat tentu menjadi poin utama gerak roda
sebuah organisasi pergerakan ini nantinya. Sebab, jika kita sendiri sebagai
kader perempuan di dalam organisasi pergerakan masih terombang-ambing dengan
pandangan-pandangan yang salah tersebut, perlahan-lahan kesalahpahaman akan
dunia malam yang selama ini ada di masyarakat akan mendarah-daging. Apalagi,
bila kita hanya diam tanpa memberikan pemahaman ke masyarakat. Maka dari itu,
kita harus bahu membahu mencari solusi yang tepat untuk menghancurkan paradigma
yang salah kaprah yang selama ini ada di masyarakat, kita juga jangan ikut
terjerumus dalam kesalahan paradigma tersebut.
Semoga perempuan-perempuan yang memilih untuk mengabdikan diri
dalam organisasi pergerakan senantiasa kuat dan tegar dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang ada di sekitarnya. Inilah perjuangan kita yang sesungguhnya
sebagai seoarang aktivis pergerakan. Semuanya kembali lagi kepada individu masing-masing,
memilih untuk ikut terseret dalam paradigma yang berlandaskan ketidak-tahuan
yang terbagun di masyarakat, atau memilih untuk mencari jalan merobohkan
paradigma itu. Kembali lagi, semua itu tanpa melupakan kodrad bahwa kita adalah
perempuan dengan kelembutan sikap dan keindahan tutur kata.
No comments:
Post a Comment