Pengunjung

Thursday, November 20, 2014

Mahasiswi Sebagai Aktivis dan Kehidupan Malamnya...


Masih kental dalam ingatan, bulan april yang sangat erat kaitannya dengan sosok pejuang perempuan Indonesia R.A Kartini. Beliau, dengan ketegasannya untuk menyetarakan status antara perempuan dan laki-laki di mata masyarakat pada saat itu, kemudian membawa era baru dalam kehidupan perempuan di Indonesia yang sarat dengan norma, adat dan kebudayaan. Sudah puluhan tahun setelah perjuangan Kartini membumi di Indonesia, perempuan-perempuan hadir dengan berbagai kesetaraan yang mulai berterima di masyarakat. Kita dapat melihat perempuan duduk di kursi pemerintahan, perempuan sebagai kepala bagian di kantor, perempuan yang mengenyam bangku sekolah, hingga duduk sejajar dengan laki-laki sebagai siswa di sebuah perguruan tinggi.
Namun, di tengah segala kesetaraan yang telah hadir di tengah masyarakat tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki, muncul keresahan di kalangan masyarakat. Gempuran arus globalisasi dan gerakan-gerakan ekstrim dari barat seakan menjadi momok akan nilai adat, budaya sebagai orang timur juga sebagai pemeluk agama islam, yang kemudian membangun doktrin-doktrin baru bahwa kesetaraan yang ada kini telah melampaui batas adat dan budaya yang selama ini digenggam erat masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab eksistensi perempuan dalam organisasi dipertanyakan. Sebab mereka (red aktivis perempuan) dengan segala kegiatannya di organisasi akan mau tidak mau dihadapkan dengan nilai adat dan budaya masyarakat yang ada.

Seorang aktivis perempuan di sebuah organisasi pergerakan tentunya tidak lepas dari pengkaderan, diskusi dan rapat-rapat atau koordinasi agenda-agenda terdekat yang akan dijalani. Hal ini akan sangat sulit dilakukan di pagi, siang atau sore hari, sebab waktu-waktu tersebut mereka masih disibukkan dengan kegiatan perkuliahan atau kegiatan organisasi intra kampus yang mereka ikuti. Maka waktu pagi hingga sore mereka akan menyelam dalam hiruk pikuk perkuliahan, dan sebagainya yang ada di dalam kampus. Dapat disimpulkan bahwa waktu yang tersisa untuk organisasi ekstra kampus yang mereka ikuti hanya di malam hari. Maka dari itu, tidak heran bila seorang perempuan yang memilih jalan hidup sebagai kader di organisasi ekstra kampus akan erat kaitannya dengan kehidupan malam. Kehidupan malam disini bukan merupakan ‘kehidupan malam’ di tempat-tempat lokalisasi, bar, club dan sebagainya. Akan tetapi, kehidupan malam yang dimaksud adalah kehidupan di lantai gedung kuliah, pojok-pojok warung kopi, pun rayon atau komisariat yang berisi diskusi, rapat dan sebagainya.
Kehidupan malam inilah yang kemudian menjadi persoalan dalam peran seorang perempuan di sebuah organisasi pergerakan. Sebab kehidupan malam yang dilakukan oleh mereka tidak serta-merta bejalan mulus, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mereka, yakni;
Pertama, banyak dari mereka yang memilih untuk tinggal di pondok pesantren, atau kos yang tutup pukul 9 malam. Entah dari dorongan keluarga atau keinginan sendiri, tinggal di pondok pesantren atau kos dengan jam malam memang lebih banyak dipilih mahasiswi-mahasiswi. Hal ini tentu menjadi persoalan dalam kehidupan perempuan-perempuan yang ada di sebuah organisasi pergerakan. Tidak kemudian bermaksud menyalahkan atau tidak setuju dengan mereka yang memilih hal itu. Sebagai seorang perempuan yang nantinya menjadi ibu bagi putra-putrinya, tentu mereka harus menyiapkan bekal yang cukup, pengetahuan agama yang luas, sebab darinya pendidikan pertama seorang anak akan terjadi. Akan tetapi, hal tersebut janganlah dijadikan alasan untuk melalaikan tanggung jawab moral sebagai seorang kader di organisasi pergerakan. Jika memang kehidupan malam tidak dapat mereka lakukan, mereka harusnya bersikap dewasa dan tidak melalaikan tanggung jawabnya, lantas kemudian membebankan semuanya kepada sahabati lain yang tidak tinggal di pondok pesantren atau kos dengan jam malam.
Kedua, pandangan buruk masyarakat terhadap perempuan yang keluar malam, atau perempuan yang duduk di warung kopi. Tidak dapat dipungkiri kehidupan sebagai mahasiswa akan erat kaitannya dengan masyarakat, sebab kanan-kiri tempat mereka tinggal adalah masyarakat. Dan wajar bila kehidupan malam yang dijalani oleh para aktivis ini mendapat sorotan dari mereka. Ketidak-tahuan masyarakat tentang apa saja yang dilakukan para aktivis kiranya menjadi alasan yang kemudian membuat mereka memandang buruk perempuan-perempuan yang pulang larut malam. Selain itu, gambaran kehidupan malam yang disajikan di televisi tidak pernah menyorot sisi kehidupan malam seorang mahasiswa aktivis yang sesungguhnya. Gambaran kehidupan malam yang disuguhkan televisi adalah kehidupan malam mahasiswa yang sarat dengan mabuk-mabukan, narkoba, dan hal-hal negative lainnya. Hal ini lah yang secara sadar atau tidak menjadi dasar pandangan masyarakat akan aktivitas yang dijalani mahasiswa. Perempuan sebagai kader organisasi pergerakan, dengan kehidupan malamnya tentu akan berhadapan dengan pandangan yang (sudah terlanjur) melekat di masyarakat. Mau tidak mau, mereka yang tadinya bersemangat untuk berdiskusi, rapat dan sebagainya akan menciut dengan tudingan-tudingan miring yang dilakukan masyarakat.
Ketiga, kepulan asap rokok. Hal ini terkesan remeh, akan tetapi banyak dari aktivis perempuan yang kemudian perlahan-lahan mundur dari dunia malam sebagai seorang aktivis pergerakan. Bagi aktivis laki-laki, mereka tidak akan mempermasalahkan hal itu, sebab banyak dari mereka adalah oknum yang melakukan hal itu (red merokok). Hal inilah yang menjadi masalah, sebab banyak dari perempuan yang tidak suka dengan rokok.
Dari berbagai hal yang sudah dijelaskan diatas, dapat dilihat bahwa peran seorang kader perempuan di organisasi pergerakan mau tidak mau akan dihadapkan dengan berbagai hal yang ada disekitarnya. Namun, semua itu tidak lantas membenarkan pernyataan bahwa peran dan eksistensi seorang kader perempuan di organisasi pergerakan sangat minim atau sangat lemah, dan kader laki-laki lah yang berperan besar dalam organisasi. Akan tetapi keberadaan mereka ditengah segala hal yang harus mereka hadapi tentu menjadi poin tersendiri. Kesadaran seorang kader perempuan dan kedewasaannya dalam menyikapi berbagai kondisi yang ada di masyarakat tentu menjadi poin utama gerak roda sebuah organisasi pergerakan ini nantinya. Sebab, jika kita sendiri sebagai kader perempuan di dalam organisasi pergerakan masih terombang-ambing dengan pandangan-pandangan yang salah tersebut, perlahan-lahan kesalahpahaman akan dunia malam yang selama ini ada di masyarakat akan mendarah-daging. Apalagi, bila kita hanya diam tanpa memberikan pemahaman ke masyarakat. Maka dari itu, kita harus bahu membahu mencari solusi yang tepat untuk menghancurkan paradigma yang salah kaprah yang selama ini ada di masyarakat, kita juga jangan ikut terjerumus dalam kesalahan paradigma tersebut.
Semoga perempuan-perempuan yang memilih untuk mengabdikan diri dalam organisasi pergerakan senantiasa kuat dan tegar dalam menghadapi berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. Inilah perjuangan kita yang sesungguhnya sebagai seoarang aktivis pergerakan. Semuanya kembali lagi kepada individu masing-masing, memilih untuk ikut terseret dalam paradigma yang berlandaskan ketidak-tahuan yang terbagun di masyarakat, atau memilih untuk mencari jalan merobohkan paradigma itu. Kembali lagi, semua itu tanpa melupakan kodrad bahwa kita adalah perempuan dengan kelembutan sikap dan keindahan tutur kata.

No comments:

Post a Comment

Followers