Pengunjung

Thursday, February 4, 2010

CINTAILAH DIA APA ADANYA

CINTAILAH APA ADANYA

Ada sebuah cerita yang sungguh membuat hati saya terbolak-balik. Beberapa kali saya telah membaca cerita ini akan tetapi air mata saya masih saja selalu menetes. Berikut ini ceritanya:

Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang mucul di hati saya ketika saya bersandar di bahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahu dalam masa pernikahan, harus saya akui, bahwa saya mulai merasa lelah, alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya menciptakan suasana romantis dalam pernikahan kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan kepusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan perceraian. “Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut. “Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang saya inginkan.”
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa saya harapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “ Apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?”
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan, “Saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya di dalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya: Seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?”. Dia termenung dan akhirnya berkata, “Saya akan memberikan jawabannya besok.”
Hati saya langsung gundah mendengarkan responnya. Keesokan paginya, dia tidak ada dirumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tanganny dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan…
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya.” Kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menagis di depan monitor, saya harus memberikan jari-jari saya supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya.”
“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bisa mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.” “ Kamu suka jalan-jalan ke luar kota, tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, saya harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mata saya untuk mengarahkanmu.”
“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.” “ Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat mengiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.” “Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik utnuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika tua nanti, saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”
“Tanganku akan memegang tanganmu mebimbingmu menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan oasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.”
“Tapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir menagisi kematianku.”
“Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari saya mencintaimu.”
“Untuk itu sayangku, jika semua yang telah diberikan tanganku,kakiku,mataku,tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan,kaki dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk membacanya. “Dan sekarang, sayangku. Kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang berdiri disana menunggu jawabanmu.”
“Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk dan membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.”
Segera saya berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.
Itulah cinta, saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak memberikan cinta yang kita inginkan, maka sesungguhnya cinta itu telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

No comments:

Post a Comment

Followers